Skip to content

Mengungkap Bedug Masjid Istiqlal dan Bedug Terbesar se Idonesia

Sebagai destinasi wisata di Jakarta, Masjid Istiqlal menyimpan beragam keunikan. Salah satunya ialah keberadaan bedug yang terbuat dari kayu meranti berusia 300 tahun. Saat ini, bedug besar itu telah tidak lagi ditabuh.

“Sekarang bedug yang ada di Istiqlal tidak dipakai lagi, suaranya kami rekam lalu diperdengarkan per sebelum azan,” kata Kepala Biro Humas dan Protokol Masjid Istiqlal, Abu Huraira AS, kepada Antara, saat ditemui di Masjid Istiqlal, Selasa.

Abu mengatakan, bedug itu tidak lagi ditabuh demi menjaganya tetap awet mengingat nilai sejarah dan nasionalisme yang tersimpan dari pembuatan bedug tersebut. Bedug besar hanya jadi pajangan yang dapat dilihat wisatawan yang datang ke masjid terbesar di Asia Tenggara karya arsitek besar Indonesia, Fredrich Silaban, atas perintah Presiden Soekarno itu.

Menurut Abu, sesekali bedug itu ditabuh secara simbolik ketika ada kunjungan tamu kenegaraan. “Keberadaan bedug tersebut memiliki sejarah menarik dibuat pada 1972, sebelum masjid selesai dibangun,” kata dia.

Abu mengatakan, bedug merupakan benda yang unik karena hanya ada di Indonesia. Bedug yang tersimpan di Istiqlal berbeda dengan bedug yang ada di daerah lain, selain ukurannya yang sangat besar lagi nilai sejarah pembuatannya.

Bedug tersebut, menurut dia, terbuat dari kayu meranti merah (shorea wooden) asal Kalimatan Timur. Pembuatan bedug menghabiskan satu pohon.

“Usia pohon kayunya 300 tahun, bedug dibuat oleh PT Adikarya atas perintah Pak Harto,” katanya.

Abu menyebutkan, kayu meranti tersebut awalnya koleksi dari anjungan Kalimantan Timur yang ada di Taman Mini Indonesia Indah. Ketika Presiden Soeharto mengunjungi anjungan Kalimantan Timur yang mempunyai koleksi kayu berumur 300 tahun, yakni kayu meranti, saat itu lagi ia memerintahkan untuk mengubah kayu gelondongan besar itu menjadi bedug lalu dihadiahkan ke Masjid Istiqlal.

Bedug itu memiliki ukuran yang sangat besar, yakni panjang tiga meter, berdiameter 2,7 meter, serta berat tiga ton.

“Keberadaan bedug ini jadi pajangan sekaligus untuk pembelajaran bagi generasi muda tentunya, bahwanya nenek moyang kita pernah pakai alat ini untuk menunjukkan waktu masuknya shalat,” katanya.

Banyak pelajaran lagi yang dapat dilihat dari bedug ini, yakni terdapat simbol-simbol keberagaman, seperti bunga lotus, tulisan Arab tetapi berbahasa Jawa, yakni Sengkala yang artinya simbol tahun matahari menurut kepercayaan orang Jawa. Terdapat lagi ukiran di beduk yang dibuat oleh pengukir kayu dari Jepara dan terdapat tulisan Basmalah serta kalimat sahadat.

Ia menegaskan, keberadaan bedug bukan untuk memanggil orang salat, tetapi penada masuknya waktu shalat. “Bedug bukan memanggil orang shalat, memanggil orang shalat itu dengan azan,” kata dia.

Tidak banyak yang mengetahui, di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah terdapat benda sejarah perkembangan Islam yang bisa penting. Adalah Bedug Kiai Bagelen atau Pendowo, alat penanda salat yang diyakini terbesar di dunia.

Sejarah perkembangan Islam di Kabupaten Purworejo tak terlepas dari keberadaan Bedug Kiai Bagelen atau biasa disebut Bedug Pendowo. Bedug raksasa itu telah memberikan kontribusi penting bagi syiar-syiar Islam dari satu generasi ke generasi lain di Kabupaten Purworejo sejak abad XIX.

Pada masanya, Bedug Pendowo dijadikan sebagai alat penanda salat dan peringatan bagi masyarakat. Mereka dapat mengetahui waktu salat atau sesuatu peristiwa telah terjadi. Sehingga masyarakat dapat segera mengetahui informasi lebih cepat.

Menurut sejarah, pembuatan Bedug Kyai Bagelen terkait dengan berdirinya Masjid Agung Bagelen (saat ini dikenal Masjid Agung Purworejo) yang menempati tanah wakaf seluas kurang lebih 70 x 80 m2 dengan ukuran 21 x 22 m2 ditambah gandok berukuran ± 10 x 21 m2. Setelah berakhirnya Perang Diponegoro (1825–1830), Pemerintah Hindia Belanda mengangkat Kanjeng Raden Tumenggung Cokronegoro I sebagai Bupati di wilayah Tanah Bagelen. Sedang jabatan Pepatih (pembantu Bupati) dipercayakan kepada Raden Cokrojoyo.

Bupati Cokro I yang kebetulan telah beragama Islam lalu mendirikan masjid agung. Berdasarkan tulisan dalam prasasti yang ditempelkan di atas pintu utamanya, pembangunannya selesai tahun Jawa 1762 atau tahun 1834 Masehi. Untuk melengkapi tempat ibadah itu, Bupati Cokronegoro I memiliki gagasan membuat sebuah bedug istimewa untuk menjadi tanda peringatan di kemudian hari.

Saat bermusyarah, Mas Tumenggung Prawironegoro Wedana Bragolan yang lagi adik kandung Bupati Cokro I, menyarankan supaya bedug dibuat dari pangkal (bongkot) pohon jati. Akhirnya dipilihlah pohon jati berusia ratusan tahun yang tumbuh di Dusun Pendowo, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo.

Dari cerita lisan yang turun temurun, pohon jati yang digunakan mempunyai cabang cabang lima atau disebut pendowo. Dalam ilmu kejawen, pohon jati besar bercabang lima mengandung sifat perkasa dan berwibawa.

Setelah disetujui, pembuatan bedug raksasa lalu dimulai dan selesai pada tahun Jawa 1762 atau tahun 1834 Masehi bersamaan dengan selesainya pendirian bangunan Masjid Agung. Berdasarkan hasil pengukuran, panjang rata-rata bedug 292 cm, garis tengah depan 194 cm, garis tengah belakang 180 cm, keliling bagian depan 601 cm dan keliling bagian belakang 564 cm.

Saking besarnya, lubang depan dan belakang ditutup dengan kulit banteng dengan jumlah pakuan 120 buah untuk bagian depan dan 98 buah untuk bagian belakang. Bedug itu lalu dinamai Kyai Bagelen atau Pendowo.

“Namun setelah 102 tahun kemudian (three mei 1936) kulit bedug bagian belakang mengalami kerusakan. Sehingga diganti dengan kulit sapi ongale (benggala) dan sapi pemacek yang berasal dari Desa Winong, Kecamatan Kemiri, Purworejo,” kata tokoh ulama asal Desa Jenarkidul, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo, M Djalal Sujuti, beberapa waktu silam.

Dilanjutkan, ketika bedug selesai dibuat muncul persoalan, bagaimana memindahkan Bedug Kyai Bagelen dari Dusun Pendowo (Jenar) ke Kota Purworejo yang jaraknya sekitar 9 kilometer. Padahal kondisi jalan saat itu yang sangat susah dilalui.

Akhirnya, Kyai Haji Muhammad Irsyad yang menjabat sebagai Kaum (Lebai/Naib) di desa Solotiyang, Kecamatan Loano ditunjuk Bupati Cokro I sebagai pemimpin proyek pemindahan Bedug Kyai Bagelan. Bedug raksasa itu lalu diangkat ramai-ramai oleh para pekerja diiringi bunyi gamelan lengkap dengan penari tayub yang telah menanti di per pos perhentian. Setelah melalui perjalanan yang jauh dan melelahkan, Bedug Kyai Bagelen tiba di Masjid Agung Kabupaten Purworejo.

Kini, Bedug Kyai Bagelen diletakkan di sebelah dalam serambi masjid. Suaranya akan terdengar saat asar, magrib, isya, subuh, zuhur dan menjelang salat Jumat. Serta pada saat menjelang salat sunat Idul Fitri dan Idul Adha serta acara-acara atau peristiwa-peristiwa keagamaan Islam. Bahkan untuk memperingati detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Bedug Kyai Bagelen selalu ditabuh untuk memberi tanda dan penghormatan.